Senin, 15 September 2008

Segelas Kopi Yang Melanggar Khittah

"Black as the devil, hot as hell,

pure as an angel, sweet as love."


Untaian kata-kata tersebut telah disampaikan oleh Charles Maurice de Talleyrand Perigord (1754-1838), seorang diplomat Prancis untuk menerjemahkan resep bagi sajian kopi yang semestinya. Rupanya Talleyrand paham betul bahwa secangkir kopi akan terasa nikmat jika diracik sesuai dengan kali pertama kopi dinikmati di seluruh penjuru dunia: bubuk kopi murni, gula, dan disajikan dalam keadaan panas.


Resep kopi versi Talleyrand sejak 2 abad lalu tersebut rupanya semakin lama semakin bergeser. Jadi jangan heran kalau di kafe-kafe sepanjang jalan protokol maupun pertokoan di kota-kota besar, mulai dari New York sampai New Delhi, dari kota besar negara-negara makmur sampai negara-negara miskin terpampang papan menu minuman berbasis kopi yang semakin hari deretannya semakin panjang: Café latte, cappuccino, Espresso con panna, Red eye, dst.


Nah… Bagaimana dengan di Indonesia? Negara kita sebenarnya masuk golongan negara miskin atau berkembang? Jawabannya tentu relatif, kalau dibilang berkembang kok di tiap lampu merah Jakarta saja bisa dipastikan ada segerombolan pengemis yang jumlahnya terus meningkat, di Rangkasbitung masih ditemukan penyakit busung lapar, bahkan sudah bosan kita lihat berita TV tentang bunuh diri masal dilakukan oleh satu keluarga karena miskin. Mau dibilang negara miskin? Gengsi dooonggg… toh masih banyak Jaguar, Porsche, Lamborghini, ataupun konvoi motor gede berseliweran di Jakarta terutama saat weekend.


Nah… mari kembali ke laptop kopi. Inovasi dan kreatifitas dalam racikan kopi dengan nama-nama yang aneh di telinga orang Indonesia ternyata masuk juga ke lidah orang Indonesia. Mungkin bagi yang pertama mencoba terkesan rasanya agak aneh, tapi lama kelamaan akan terasa nikmat…. atau dipaksa supaya nikmat. Biasanya kafe-kafe dengan kopi inovasi ini dijejali anak-anak muda ataupun pekerja white collar. Atau, kadang-kadang pekerja blue collar dan anak muda dangan kantong pas-pasan yang entah ingin coba-coba saja atau memang ingin ikut trend, ataupun addicted.


Yang mengganjal hati saya adalah, apakah wajar kopi inovasi yang melanggar khittah tersebut dihargai sedemikian mahalnya hingga ada yang mencapai diatas Rp 30 ribu per gelas? apalagi kalau yang penyajiannya ditambah dengan latte art. Benarkah indeks biaya produksi kopi per gelasnya setelah memperhitungkan fix cost maupun variable cost index benar-benar rasional untuk harga sebesar itu?
Lalu ada yang bertanya begini: Duit-duit gue kok, kenapa sewot? mau mahal kek, murah kek, yang penting gue enjoy…!
Hehehe… emang sih itu duit-duit elo… Gw juga kadang minum kok, cuma kalo terlalu sering apa gak terlalu mubazir ngebuang uang segitu banyak? Apalagi buat mereka yang membeli kopi inovasi sekadar ngikutin trend meskipun sebenarnya rasa di lidah gak enak-enak amat. Kalo gw saranin, sekali-sekali mbok ya dibagi tuh uangnya untuk beli kopi murni/kopi jahe di ujung Malioboro Yogya atau Warkop di kota-kota lainnya yang cuma 2-3 ribu perak tapi gak kalah nikmat, asli produksi Indonesia (kecuali gulanya, mungkin aja gula rafinasi impor heheh), dan yang gak kalah penting: turut membantu income pedagang kopi tersebut untuk menyekolahkan anaknya.


Kalau saya punya duit banyak mungkin kopi dengan racikan saya:
Café Magica: Kopi lampung, campur strawberry, plus kotoran ayam broiler (mengandung protein) yang disterilisasi, ditambah sedikit susu.


Kopi tersebut modalnya kecil, tapi dengan strategi pemasaran diiklankan di TV dengan bintang iklan ABG cantik sambil ketawa-ketiwi dan berkata: “Haree genee gak tau minuman yang lagi ngetrend? Basi deh loe” pasti laku meskipun saya patok harga 15 ribu perak per gelas.
Tapi apapun kopi yang anda minum, itu pilihan anda… sebagai kembaran Markesot, saya hanya mau berfikir rasional saja kok… namanya juga Markesot, ngomong apaan aja juga boleh dong meskipun tanpa teori njelimet… OK...!

Kopi favorit saya tetap kopi yang sesuai khittahnya: Black as the devil, hot as hell, pure as an angel, sweet as love… and for sure, it’s really-really cheap. Drink it while enjoying the sunset on the Beach... feels like in paradise.

Tidak ada komentar: